Saya datang sendiri dan agak telat, namun beruntung acara belum dimulai dan para peserta masih makan-makan for free. Setelah menyalami kepala suku Kompasianer Surabaya, Mbak Avy, saya pun duduk terpisah dengan teman-teman kompasianer karena di sekitarnya sudah penuh dengan blogger dari komunitas lain. Dan berikut ini adalah materi menarik tentang mengelola keuangan yang mungkin bermanfaat buat teman-teman yang sedang membaca.
Rata-rata manusia menjalani 3 fase kehidupan dan usia
- Usia 20 an, punya banyak waktu tapi sedikit uang
- Usia 30-35, punya cukup waktu tapi sedikit lebih banyak uang
- Usia 40-50 punya sedikit waktu tapi banyak uang
Bagaimanapun 3 fase tersebut adalah fase rata-rata manusia dalam menjalani hidup. Jadi kalau ada yang masih usia 20 an tapi sering berseloroh kelompok fase ke-3, jangan-jangan memang sudah senja? Hehe.
Setelah pembukaan yang manis dan jauh dari ketegangan teori-teori rasa kuliahan, Pak Alviko kemudian masuk pada survey kecil-kecilan. Yakni apakah kita mau kaya?
Ada 10 pertanyaan dengan pilihan jawaban Ya dan Tidak. Pertanyaan 1-4 saya rasa adalah pertanyaan yang mayoritas orang akan menjawab Ya. Seperti apa anda mau kaya? Benar-benar mau kaya? Berani kaya? Siap kaya?
Namun psikologi audien mungkin akan terganggun setelah pertanyaan nomer 5, Apakah menjadi miskin itu hina? 6, apakah menjadi miskin itu menderita? Dan 7, apakah menjadi miskin itu memalukan?
Saya sendiri awalnya dengan egois menjawab semua Ya. Namun pergolakan bathin dan segala eori keagamaan seperti tidak terima. Ada beban moral jika harus menyetujui bahwa miskin itu memalukan dan hina. Jadi ketika ditanya siapa yang menjawab Ya semuanya? Saya tidak acung tangan. Saya menahan diri untuk itu, sambil menunggu ke arah mana Pak Alviko akan membawa setiap kepala yang hadir di Rocca Restaurant Artotel Surabaya.
Benar saja, ada beberapa orang yang sedikit 'protes' dengan pertanyaan-pertanyaan tersebut. Namun akhirnya saya mengerti bahwa maksud dari 10 pertanyaan yang diajukan adalah murni ditujukan pada diri kita sendiri, bukan pada persepsi masing-masing kita. 10 pertanyaan tersebut menanyakan pada kesadaran sempurna apakah kita punya mental atau kesungguhan untuk kaya? Bukan pada penilaian atau persepsi apakah kita menganggap orang miskin itu hina?
Paling menarik adalah 3 pertanyaan terakhir: berani malu? Menderita dan berkorban?
Banyak dari kita, atau katakanlah saya, tidak berani malu untuk mencapai kekayaan atau kesuksesan. Saya enggan untuk memulai dari hal kecil semisal berjualan di pinggir jalan. Saya terlalu memikirkan apa yang akan orang katakan jika melakukannya.
Saya juga tidak berani menderita. Saya pernah menulis dengan sangat keras agar berpikir ulang jika ingin menikahi anaknya orang kaya. Dengan alasan akan ada konsekuensi logis yang harus saya terima, seperti kemungkinan sensi dan mudah merasa dilecehkan, tidak bisa mengimbangi gaya hidup pasangan dan seterusnya. Secara kebetulan dalam seminar ini Pak Alviko menyinggung hal yang agak mirip.
"Kita itu sering bilang, untung ya dia dapat anak orang kaya bla bla bla. Tapi kan kita nggak benar-benar tau seperti apa sosok anak orang kaya tersebut? Bisa jadi tempramen, siapa tau?! Seharusnya kita tidak berpikir dia beruntung, tapi cobalah menerima kenyataan bahwa dia berani mengambil konsekuensi itu"
Lalu yang terakhir adalah saya juga kurang berani berkorban. Saya kadang egois lebih mementingkan kenyamanan diri, dibanding tujuan yang dicita-citakan. Contoh saja, saya lebih fokus mencari pasangan unyu dan lucu padahal target sesungguhnya adalah Audi R8. Ketika ada anak pengusaha kelas kakap mendekat dan secara logika lebih memungkinkan atau minimal bakal lebih cepat membeli Audi R8, saya terbentur dan mundur karena perempuan di depan saya waktu itu manjanya sudah bintang lima. Saya kurang berani atau enggan mengorbankan kenyamanan yang selama ini didapat, yang hidup selalu easy going serta tidak ribet. Saya tidak mau memilihnya karena sepertinya hidup bakal nampak merepotkan. Saya yang merasa tidak bersalah tidur di bandara, terminal dan stasiun pasti tidak akan bisa diterima oleh si anak orang kaya tadi. Kalau saya bepergian dengannya, minimal saya harus carikan hotel untuknya beristirahat.
Itulah saya, itulah (mungkin) mayoritas kita. Disadari atau tidak saya kurang memiliki determinasi maksimal untuk kaya atau sukses. Saya masih sering menginjak rem atas banyak alasan dan pembenaran. Lebih lucu lagi saya tidak punya fokus atau pandangan yang jelas tentang 'privacy' diri sendiri dan persepsi atau penilaian. Jadi ketika ditanya apakah miskin itu hina? Saya ragu untuk egois mengatakan iya, padahal pertanyaan tersebut untuk saya sendiri (sifatnya privacy) tidak untuk disampaikan pada publik (penilaian). Adakah yang seperti saya? Semoga tidak banyak ya.
Lalu pada akhir tulisan ini saya akan tutup dengan sedikit alasan mengapa miskin itu hina, memalukan dan menderita. Namun PENTING untuk saya ingatkan bahwa paragraf setelah ini adalah semua kalimat setelah paragraf ini adalah sifatnya untuk dibaca sendiri, untuk masing-masing kita, BUKAN pandangan kita kepada orang lain yang saat ini dalam lingkar kemiskinan.
Miskin itu hina. Bagaimana tidak, mereka meminta-minta di pinggir jalan. Mereka rela menyewa bayi yang diberi obat penenang dengan resiko kematian hanya untuk mengumpulkan uang receh. Lihatlah maling ayam, pakaian, kambing dan barang kebutuhan pokok lainnya. Betapa hinanya mereka. Dicemooh, dipukuli dan masih diberi hukuman pidana. Malah sebagian mati konyol karena dihakimi massa. Apa kita pikir mereka gila? Tidak. Mereka tertekan dengan kebutuhan yang tinggi, tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok karena miskin. Masihkah ada ruang alasan miskin itu tidak hina?
Miskin itu menderita.
Kemiskinan memaksa seseorang untuk menderita. Saya tau ada banyak orang miskin yang menahan diri tidak ke dokter meski tau dirinya sakit. Berbeda dengan orang kaya yang demam sedikit saja sudah telpon dokter dan cuti dari pekerjaan. Apa kita pikir itu tidak menderita? Atau kita berpikir dua kali jika harus menggunakan pesawat, sekalipun hanya sekali setahun (mudik) dan tetap memilih bus atau kereta. Apa ada yang masih berpikir miskin itu tidak menderita?
Miskin itu memalukan.
Coba lihat pengemis, mereka melakukan itu karena miskin. Jika kita pikir anggapan malu hanya penilaian kita dan tidak dirasakan lagi oleh pengemis karena mereka sudah menganggapnya sebagai profesi profesional, coba saja tanyakan pada mereka: apa mereka tidak malu? Seprofesional apapun, pengemis tetaplah pengemis, mereka punya rasa malu untuk melakukan itu. Namun kenyataan membuatnya sedikit melupakan hal tersebut. Atau contoh yang lebih real, misal rumah kita masih gubuk. Bohong kalau kita sedikitpun tidak merasa malu dengan kondisi tersebut. Sedewasa apapun diri ini, pasti ada rasa malu jika dikunjungi teman, apalagi temannya datang membawa mobil Audi R8.
Namun semua itu kita pungkiri, terbentur dengan alasan agama bahwa miskin dan kaya di sisi Tuhan adalah sama, sederajat. Kita lalu menjadikan ayat tersebut sebagai pembenaran, sampai melupakan bahwa yang bisa bersedekah hanya orang kaya. Kita juga lupa bahwa untuk haji butuh uang, bahkan kalaupun diberi hadiah haji, si pemberi hadiah tetap bayar dengan uang.
Nah sampai di sini pertanyaannya adalah, apakah kita benar-benar ingin kaya? Saya pribadi rasanya belum. Masih banyak jawaban "Tidak" setelah melalui perenungan kenyataan selama ini. Namun mulai sekarang saya akan berpikir untuk merubah "Tidak" menjadi "Ya" dalam arti yang sesungguhnya nan sempurna. Nah bagi teman-teman yang sedang membaca ini bagaimana? Jawab dalam hati saja ya. Hehe
CATATAN: tulisan ini adalah materi dari seminar Pak Alviko Ibnugroho yang coba saya kembangkan dengan pemahaman dan bahasa saya sendiri.
Ini hanya artikel pembukaan, masih banyak yang bisa kita bahas dan insya Allah saya akan menuliskan semua yang saya ingat dari acara tersebut. Sampai ketemu di artikel selanjutnya.
0 Komentar untuk "Karena Kita Tidak Benar-benar Mau Kaya"